Mulai Maret sudah tersiar kabar bahwa Menteri Pendidikan pada Hardiknas akan mengumumkan kenaikkan tunjangan fungsional guru yang berlaku surut mulai Januari 2002. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara , selain sejak Mei fungsional akan bertambah, punya simpanan (rapel) pula sejak Januari hingga Mei 2002. Namun, ternyata penantian tiada berujung dan mimpi di atas mimpi pun menjadi kenyataan. Sayang, guru tidak seperti anggota DPR atau DPRD yang berhasil menikmati kenaikan gaji atas usaha bargaining dirinya dengan pemerintah.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa guru selalu tak berdaya dalam memperjuangkan nasibnya melawan ketakmenentuan kondisi ekonomi dan sosial politik yang terus berubah-ubah mengikuti proses alih kekuasaan. Sementara proses pendidikan tidak boleh berhenti. Guru harus terus menjalankan tugas dalam mencerdaskan dan memintarkan bangsa agar kelak negeri ini dapat dipimpin oleh anak bangsa yang mampu secara ajaib membawa negeri ini segera lepas dari krisis ekonomi. Dari sudut etika, Guru tidak boleh mogok kerja, guru tidak etis jika berdemo. Namun, bukankah guru pun manusia yang punya kehendak untuk meningkatkan kualitas hidupnya seperti halnya profesi lain?
Penetapan penyelenggaraan sistem pendidikan yang disentralisasi (decentralizing of education) dalam kondisi otonomi daerah mengubah secara total paradigma penyelenggaraan pendidikan di Indonesia . Perubahan paradigma tersebut didasari oleh kekuatan yuridis formal yaitu UU no. 22/1999, UU no. 25/1999, dan PP no. 25/2000. Penetapan desentralisasi pendidikan menuntut pengutamaan usaha-usaha ke arah pemberdayaan sekolah sebagai institusi pencetak manusia-manusia yang berkualitas dan berbudi luhur, sehingga sekolah memiliki kewenangan, keleluasaan, atau otonomi di dalam mengelola proses belajar mengajar anak didiknya. Pada kondisi seperti ini tuntutan profesionalisasi guru semakin tinggi. Selain itu, guru dintuntut pula memiliki rasa percaya diri yang tinggi (high self-confidence) terhadap penguasaan dan pengembangan materi, berdaya kreasi (creative tinking), memiliki kemauan untuk berinovasi (innovative), bahkan mampu bersaing secara positif (compatible). Lagi-lagi guru dihadapkan hanya pada kondisi kewajiban dan tuntutan profesi, sedangkan hak belum mendapat perhatian dari pemerintah, para politisi, maupun para pejabat (sekalipun semula dirinya guru). Malah, potensi kuantitas guru sebagai pegawai negeri di daerah dipandang sebagai potensi yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politis dengan “dalih pembangunan”.
Manajemen Berbasis Sekolah
Pemberlakukan desentralisasi pendidikan berimplikasi pada kehadiran pemikiran impor dalam mengelola pendidikan di sekolah. Sistem pengelolaan itu dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) yang merupakan salah satu pola yang dapat digunakan dalam menjalankan sistem pendidikan. Oleh karena itu, MBS menjadi suatu keharusan bagi setiap sekolah yang memiliki political-will terhadap konsepsi sistem desentralisasi pendidikan. Pemberlakuan MBS merupakan alternatif yang amat esensial dan menjadi kunci utama dari keberhasilan pengelolaan proses dan produk belajar mengajar di sekolah. Hal ini berlaku bagi seluruh sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, dan Sekolah Lanjutan Atas. Dengan sendirinya paradigma lama dalam proses penyelenggaraan pendidikan harus ditinggalkan dan beralih ke proses penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada “kewenangan sekolah” (school authority). Untuk meningkatkan otoritas atau kewenangan sekolah namun dalam koridor edukasi yang tidak terjadi semena-mena maka diperlukan kehadiran “Dewan Sekolah” (school committee). Institusi ini merupakan institusi kekuatan masyarakat yang berfungsi sebagai mitra kerja bagi Kepala Sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Tampaknya diperlukan kepiawaian serta kehandalan guru untuk berkolaborasi dengan lembaga tersebut. Bersama-sama dengan Dewan Sekolah berusaha untuk mengupayakan tindakan-tindakan yang mengarah pada peningkatan kualitas, baik kualitas sumber daya manusianya (human resource), kualitas hasil pendidikan (product quality), kualitas kerja (management quality) bahkan kualitas kesejahteraan guru (teachers’ prosperity). Oleh karena itu, dalam rangka menyeimbangkan antara tuntutan profesionalisasi guru dengan raihan kesejahteraan guru sangat diperlukan pemberdayaan (empowering) Dewan Sekolah yang mampu memberikan pemikiran secara holistik serta memberikan jalan keluar atas dilematika yang dihadapi guru. Dengan demikian, motor utama keberhasilan pelaksanaan MBS di sekolah adalah solidnya kerjasama antaranggota “Dewan Sekolah” dalam menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Selain itu Dewan Sekolah harus pula mampu menggalang partisipasi masyarakat luas (community participant) agar berupaya mendorong sekolah untuk menjadi sekolah yang representatif bagi penyelenggaran proses pendidikan, berprestasi, berkualitas dan berkemampuaan tinggi (high qualified and competent).
Tuntutan terhadap Sekolah
Sebagaimana diungkapkan di muka bahwa penyelenggaraan pendidikan dengan MBS maka paradigma penyelenggaraan pendidikan secara drastis berubah. Pemikiran yang masih konvensional dan tradisional dalam penyelenggaraan pendidikan harus ditanggalkan sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan pendidikan dalam paradigma baru. Oleh karena itu, dalam menjalankan MBS timbul beberapa tuntutan terhadap sekolah, yaitu:
Pertama, sekolah harus mampu memberikan pertanggungjawaban secara transfaran (accountability) kepada masyarakat. Akuntabilitas publik ini dimaksudkan bukan saja dalam pemanfaatan dana yang disedot dari masyarakat, baik secara langsung maupun melalui murid yang belajar di sekolah tersebut, melainkan juga melakukan transfaransi dalam melaksanakan proses dan produk jasa pendidikan yang dijalankannya. Kondisi ini memang akan sangat berat dijalankan oleh pengambil kebijakan di sekolah (baca: Kepala Sekolah), karena selama ini pemanfaatan dana publik, baik berupa bantuan dari pemerintah maupun yang diperoleh dari masyarakat “sulit” dijalankan secara transfaran. Sampai saat ini, jangankan dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana sekolah kepada publik, kepada para guru pun masih belum dapat dilaksanakan. Akuntabilitas proses dan produk pendidikan yang dijalankan pun harus dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan dan kapabilitas guru dalam menjalankan proses pendidikan harus secara transfaran dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, kegiatan guru dalam membuat perencaan pembelajaran, model mengajar, serta target pembelajaran kiranya dapat dirumuskan secara bersama dengan Dewan Sekolah. Demikian pula dengan produk yang harus dihasilkan dari suatu penyelenggaraan pendidikan yang dijalankan oleh guru harus secara transfaran dipertanggngjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan standar minimal nasional atas kemampuan yang harus dimiliki siswa dari suiatu jenjang pendidikan. Konsekuensi akuntabilitas publik ini berpulang kepada guru sebagai ujung tobak pelaksana pendidikan dalam kelas. Guru harus mampu melaksanakan proses pendidikan dan melahirkan produk pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Lagi-lagi guru menjadi tulang punggung keberhasilan pelaksanaan SBM.
Kedua, sekolah harus mampu memberikan pelayanan prima kepada peserta didik. Hal ini berarti sekolah harus memberikan pendidikan yang optimal agar tercapai kualitas produk yang diharapkan (product achievement), yang mampu bersaing (compatible), dapat diterima di pasaran kerja (marketable). Apabila output pendidikan tidak diarahkan pada ketentuan tersebut, maka pendidikan hanya akan menciptakan para penganggur baru di tanah air tercinta ini. Pelaksana utama dari pelayanan prima ini adalah para guru. Oleh karena itu, guru dihadapkan pada tugas maha berat dalam memberikan pelayanan akademik kepada siswanya. Guru harus memahami dan menguasai pasar (baca: tuntutan masyarakat) agar pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan memiliki makna bagi para siswanya dalam menjalani berkehidupan di masyarakat. Dalam pelaksanaan MBS digulirkan konsep-konsep baru yang dapat mendukung keberhasilan konsep pendidikan yaitu Broad-based Education for Life Skill (konsep pendidikan ketrampilan sebagai modal untuk hidup). Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi para siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena faktor ekonomi, namun ia dapat hidup di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan harus mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat diterima di pasaran kerja atau menciptakan peluang kerja untuk pengembangan dan menghidupi dirinya. Ketika output pendidikan, siswa lulusan suatu sekolah dianggap tidak berpendidikan (uneducated) maka yang dijadikan sebagi kambing hitamnya adalah guru, yang dicaci tidak mempersiapkan terdidik dengan baik adalah guru, dan segala jenis caci maki ditumpahkan kepada guru sebagai pencetak pribadi manusia. Padahal guru hanya diberi kesempatan sangat singkat untuk mendidik dan mengajari siswa di sekolah. Padahal guru berpolemik antara tuntutan profesional dan tanggung jawab dengan raihan kesejahteraan yang hanya mimpi.
Ketiga, sekolah harus mampu meningkatkan kualitas guru dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagai “pendidik” guru harus memiliki kompetensi yang handal (high of competence) dan memiliki kelayakan mengajar di bidangnya (proper teaching). Temuan yang sangat memprihatinkan dari UNDP (United Nation of Development People) yaitu Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan Masyarakat, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa “40% dari guru di Indonesia tidak layak mengajar”. Kenyataan ini makin memojokan guru pada kondisi yang semakin dilematis. Agar tidak terjebak pada suatu kondisi sin qua non, maka salah satu strategi pemerintah untuk mengantisipasi masalah ini adalah dengan melakukan peningkatan kualitas kelayakan guru. Pemerintah menetapkan bahwa untuk mengajar pada jenjang pendidikan SD/MI seorang guru minimal harus berbasis pendidikan setara D2, guru SLTP/Tsanawiyah minimal harus berpendidikan lulusan D3, dan guru SLTA/Aliyah minimal harus berpendidikan Strata 1 atau Sarjana di bidangnya, bahkan bila mampu hingga mencapai Strata 2 atau Magister. Tuntutan profesional ini semakin berat bagi seorang guru jika dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada guru, baik kesejahteraannya, peningkatan SDM-nya, maupun pemenuhan kebutuhan profesional di sekolah semakin terabaikan. Tampaknya para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah masih belum menyadari betapa berat beban yang harus dipikul seorang guru yang profesional. Tampaknya pengambil kebijakan belum menyadari bahwa dirinya dibesarkan dan dipandaikan oleh tangan-tangan dingin seorang guru. Padahal harus diakui bersama bahwa “ternyata bangsa ini dibangun oleh guru”.
Dari uraian di muka dapat dinyatakan bahwa dalam menjalankan konsep desentralisasi pendidikan tuntutan profesionalisasi guru sangat tinggi, sedangkan perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap kesejahteraan guru masih sangat jauh dari harapan. Tuntutan kewajiban dan kelayakan akademik yang harus dipenuhi guru sangat berat, namun hak yang diperoleh masih ringan. Kapan kiranya “dewi fortuna” akan memimpin negeri ini yang memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada pendidikan dan guru? Bulan Mei yang diharap-harap dan diimpi-impikan para guru dan keluarganya untuk beroleh peningkatan kesejahteraan hidup hanya menjadi impian.
PEMBINAAN PROFESIONAL MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
A. Pendahuluan
Secara konseptual pengakuan terhadap keberadaan profesi guru mengandung arti recognition, endorsement, acceptance, trust, dan confidence yang diberikan oleh masyarakat kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru.
Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Tidak mengherankan apabila Kepala Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Siskandar menyatakan bahwa penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut kualitas guru memadai sehingga perlu meng-upgrade kemampuan guru supaya pelaksanaan kurikulum sesuai dengan harapan.
Data Balitbang Depdiknas (tahun 2001) saja menunjukkan, dari 1.054.859 guru SD negeri ternyata hanya 42,4 persen yang layak mengajar. Berarti, sebagian besar (57,6 persennya) tidak layak mengajar (Depdiknas go.id.com). Sampai-sampai Sapari (Kompas, 16/8/2002) berani menyimpulkan, rendahnya kualitas guru SD/MI menyebabkan pemahaman mereka terhadap inovasi pendidikan sepotong-sepotong, bahkan ada yang sama sekali tidak memahami secara substansial apa yang dikembangkan pemerintah.
Data tersebut semakin memperkuat data-data sebelumnya yang menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia kita pada tahun 2002 menempati angka 110 dari 173 negara, daya saing kita 47 dari 48 negara, performance system pendidikan kita berada pada nomor 38 dari 39 negara, penguasaan matematika siswa SLTP pada urutan 34 dan penguasaaan IPA pada urutan ke-32 dari 38 negara (Sucipto, 2003:2).
Secara mikro, permasalahan peningkatan mutu pendidikan merupakan conditio sine qua non dan mendesak untuk dipikirkan oleh stakeholder pendidikan. Secara aplikatif, diperlukan peningkatan profesionalisme guru karena guru merupakan pelaksana lapangan yang menjadi ujung tombak. Berbagai upaya pemberdayaan dapat dilakukan di antaranya dengan pembinaan profesionalisme guru melalui supervisi pengajaran.
Melalui supervisi pengajaran, seorang kepala sekolah dapat memberi bimbingan, motivasi, dan arahan agar guru dapat meningkatkan profesionalismenya.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan profesional melalui supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru?
2. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi -red- dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi.
Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus "Khusnudhon" bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan.
Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi alamari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.
Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakuakan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun.
Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan.
Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia , melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
e. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1. Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2. Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3. Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4. Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6. Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
D. KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang dimiliki, baik sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.
Mewujudkan kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, "belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)".
PENINGKATAN PROFESIONALISASI GURU
Pendahuluan
Figur sebagai seorang guru adalah ujung tombak kesuksesan pendidikan, karena maju mundurnya pendidikan terletak di tangan seorang guru. Dalam kondisi bagaimanapun guru tetap memegang posisi yang sangat vital dan penting, demikian halnya dalam pengembangan IPTEK dan perkembangan global. Eksistensi guru tetap penting, karena peran guru tidak seluruhnya dapat digantikan dengan teknologi. Bagaimanapun canggihnya sebuah teknologi, tetap saja bodoh dibandingkan guru, karena IPTEK seperti komputer tidak akan dapat diteladani, bahkan bisa menyesatkan jika penggunaannya tanpa ada kontrol. Fungsi kontrol ini terletak ditangan guru dan membuat posisi guru tetap penting.
Meskipun demikian seorang guru yang menduduki posisi penting dalam perkembangan dunia pendidikan harus memiliki kriteria tentang guru, sebab tidak semua guru itu penting kalau ia tidak dapat menggunakan dan memberikan teladan bagi peserta didik dan masyarakat di sekitarnya. Bahkan tidak jarang ada guru yang bisa menyesatkan perkembangan anak bangsa. Misalnya guru yang memaksakan kehendak sendiri terhadap peserta didik, mempersulit perkembangan peserta didik, pilih kasih, tidak adil, dendam terhadap peserta didik, mendiskriditkan peserta didik, menganggap bahwa gurulah yang selalu benar dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Pentingnya guru bergantung kepada guru itu sendiri. Sedikitnya terdapat tiga kata yang menjadikan seorang guru penting, tidak saja dalam pembelajaran di kelas, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat. Tiga kata tersebut sekaligus menjadi sifat dan karakteristik guru, yakni kreatif, profesional, dan menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar untuk membentuk kompetensi peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi sesuai dengan tingkat perkembangan dan karakteristik peserta didik. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga dirinya. Dengan kata lain pembelajaran yang dilaksanakan oleh seorang guru harus menjadi kebutuhan sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Sifat kreatif seorang guru sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, kebutuhan masyarakat sera perkembangan pandangan dunia terhadap pendidikan.
Makalah ini tidak saja bermanfaat bagi guru tetapi juga bagi tenaga kependidikan lain, dan masyarakat pada umumnya, demi terciptanya pendidikan yang berkualitas dalam mewujudkan masyarakat madani dengan sumber daya manusia yang bermutu. Semua itu hanya dapat diwujudkan oleh seorang guru yang profesional, yang mampu menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan.
Sejalan dengan apa yang dimuat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2004 memberikan rambu-rambu untuk seorang guru dalam mengorganisir dan memenej pekerjaan mereka sebagai tenaga pendidik. Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dijelaskan juga mengenai tujuan, ruang lingkup, dan proses pembelajaran pada setiap bidang studi yang dipelajari di Sekolah Dasar, diantaranya: Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), dan Seni Budaya Keterampilan (SBK). KTSP juga memberikan panduan awal dengan menentukan Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD). Dengan adanya bantuan SK dan KD, guru akan menjabarkan ke dalam bentuk yang lebih detail lagi, seperti penentuan indikator, materi pembelajaran, jumlah jam pertemuan, menetapkan buku-buku sumber, strategi pembelajaran yang digunakan, dan bentuk dan jenis penilaian yang akan digunakan oleh guru.
Seorang guru yang profesional dalam jabatannya akan senatiasa memperhatikan segala tindak-tanduknya dalam melaksanakan tugas yang mulia ini. Bagaimana seharusnya seorang guru berbuat dan bertingkah laku di depan peserta didik, bagaimana seorang guru bertindak-tanduk di lingkungan masyarakat, bagaimana seorang guru dalam mengorganisasikan pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik, bagaimana strategi yang digunakan oleh guru, apa pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh guru, bagaimana pencapaian komptensi guru itu sendiri dan masih banyak lagi hal-hal yang harus dipersiapkan oleh seorang guru yang mau profesional.
Memang suatu hal yang rumit bagi guru untuk mengerjakan semua pekerjaan di atas hingga bisa melahirkan suatu pembelajaran yang berarti dan bermakna bagi peserta didik. Tetapi hal ini juga yang akan menjadi beban dan tanggung jawab seorang guru yang harus dilaksanakan. Hal ini harus menjadi tantangan bagi seorang guru dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tetapi diyakini bahwa hal-hal yang menjadi persyaratan bagi seorang guru untuk menuju profesional. Guru yang membelajarkan mata pelajaran Seni, Budaya, dan Keterampilan (SBK) khususnya Pendidikan Seni Musik belum tercapai menurut apa yang digariskan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari fenomena yang ada di lapangan yaitu, 1) masih banyaknya guru dalam mengerjakan tugas mulia mereka tanpa persiapan sama sekali. Hanya mengandalkan ”apa yang terbawa oleh badan saja”, 2) proses pembelajaran yang berlangsung hanya sebatas bernyanyi, mulai dari permulaan jam pelajaran sampai jam pelajaran berakhir.
Pembahasan
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan itu muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal. Semua itu menujukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Untuk mengungkap dan menemukakan langkah-langkah yang harus dilewati oleh seorang guru dalam rangka meningkatkan mutu, kualitas pendidikan dan dalam rangka meningkatkan profesionalnya seorang guru dapat di lihat dari beberapa aspek diantaranya:
1. Personality Guru
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena satu peserta didik dengan peserta didik yang lain memiliki perbedaan yang sangt mendasar. Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut: (1) orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya, (2) teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi peserta didik, (3) fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, melayani pesera didik sesuai dengan minat, kemampuan, dan bakatnya, (4) memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan membantu pemecahannya, (5) memupuk rasa percaya diri, berani bertanggung jawab, (6) membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar, (7) mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya, (8) mengembangkan krativitas, (9) menjadi pembantu ketika diperlukan.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, guru harus mampu memaknai pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Untuk kepentingan tersebut, dengan memperhatikan kajian Pullias dan Young (1988), serta Yelon dan Weinstein (1997) dalam Mulyasa (2007:37), dapat diidentifikasikan sedikitnya 19 peran guru, guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong krativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, aktor, emansipator, evaluator, dan sebagai kulminator. Begitu banyak yang harus dilakukan guru dalam memaknai pembelajaran dan secara tak langsung akan meningkatkan profesionalitas dan potensi yang dipunyai guru. Seperti yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara dengan Televisi Pendidikan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2004 yang mengemukakan bahwa “hanya 43% guru yang memenuhi syarat”, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional”. Hal ini sangat memprihatinkan sekali bagi orang-orang yang berada di dalam naungan kependidikan, baik formal maupun non formal. Selaku seorang guru kita harus menyadari di mana posisi kita, apakah sudah menjalankan 19 peran guru yang di kemukakan oleh Yellon dan Weinstein (1997). Untuk memenuhi semua peran yang harus dimiliki oleh guru tentu bukan kerja yang mudah. Seorang guru butuh kerja keras untuk mewujudkan atau memenuhi tuntutan untuk meningkatkan profesionalitas.
Pada akhir-akhir ini pemerintah dalam hal ini Pendidikan Nasional menggalakkan suatu program sertifikasi, yaitu sebuah program penilaian terhadap standar profesionalisasi guru yang dikenal dengan sertifikasi guru. Secara garis besar guru harus menyiapkan hal-hal yang dipersyaratkan dalam sertifikasi seorang guru, seperti fortopolio aktivitas guru yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan wawasan dan pemahaman guru terhadap kependidikan, proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru (Silabus, SAP, RPP) untuk proses pembelajaran, dan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan untuk lebih memahami tentang seluk-beluk pendidikan, bahkan sampai ke pelatihan-pelatihan, guna meningkatkan kemampuan dan kompetensi guru tersebut.
Pada pembelajaran seni, budaya dan keterampilan khususnya mata pelajaran pendidikan seni musik dapat dilakukan guru dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan-pendekatan yang akan menghantarkan peserta didik kepada pembelajaran pendidikan seni musik yang menyenangkan, menarik, dan bermakna bagi peserta didik. Dengan memperhatikan personality guru yang dijabarkan di atas, guru harus mempersiapkan secara efisien dan efektif segenap kemampuan pribadi dan kemampuan akademis. Layaknya seorang guru yang akan memberikan pembelajaran pendidikan seni musik, sudah tentu harus mengerti akan basic musik, baik itu mengenai vokal maupun mengenai permainan atau praktek musik itu sendiri.
Pada pembelajaran pendidikan seni musik di sekolah dasar kemampuan guru tidak dituntut harus mahir memainkan seluruh alat musik secara profesional layaknya seorang pekerja seni atau ilmu seni murni (fine art) ataupun harus menjadi seorang pakar seni baru bisa membelajarkan seni musik, dan tidak harus menjadi vokalis terkenal dalam menyanyikan lagu-lagu yang sulit, akan tetapi guru lebih diutamakan berperan sebagai seorang akademisi yang akan memberikan pengalaman musik sesuai dengan kehidupan peserta didik di keseharian mereka. Dengan kata lain guru memposisikan dirinya sebagai ilmu seni terapan (application art).
Pada proses pembelajaran yang diberikan atau ditransfer oleh guru harus disesuaikan dengan tingkat pernguasaan dan perkembangan siswa. Selain memenuhi 19 peran guru yang dikemukakan oleh Yellon dan Weinstein (1997), seorang guru juga harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Apa yang sedang digemari dan berada pada tingkatan apa pola pikir anak pada saat dilakukan proses pembelajaran, serta apa yang menjadi proritas perkembangan psikologis seorang peserta didik. Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa seorang guru harus memperhatikan peserta didik secara individual. Hal ini menyangkut tingkat perkembangan, permasalahan yang sedang dihadapi dan lain sebagainya. Berikut ini akan dikemukakan pendapat para pakar dalam perkembangan anak:
a. Teori Piaget.
Piaget mengatakan bahwa belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir yang komplek. Proses belajar terjadi pengaturan antara stimulus yang diterima dan dimiliki yang dibentuk dalam fikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman sebelumnya.
Kesiapan anak belajar di SD menurut Piaget adalah bila anak sudah mencapai tingkat berfikir operasional konkrit (usia 6/7-11/12 tahun). Pada tahap berfikir kongkrit ini anak sudah mampu memikirkan sesuatu (lebih dari satu beda) pada saat bersamaan bila yang difikirkannya bersifat nytata/konkrit.
b. Jerome Bruner
Menurut Bruner, kesiapan belajar merupakan peristiwa aktif dan tidak bersifat pasif dalam mempengaruhi lingkungan belajar. Peristiwa aktif yang merupakan tanda kesiapan belajar ditandai dengan perkembangan berfikit seseorang ditentukan oleh cara melihat lingkungan, yaitu melalui tiga tahap sbb.
1) Tahap enaktif, yaitu anak melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungan sekitanya dengan motoriknya.contoh, mengenal sesuatu melalui digigit, disentuh atau dipegang.
2) Tahap ekonik, yaitu seseorang memahami suatu obyek/dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal
3) Taham simbolik, yaitu seseorang mampu mengemukakan ide atau gagasan abstrak dipengaruhi oleh kamampuan bahasa dan logika melalui simbol-simbol bahasa, logika matematika dan sebagainya.
c. Teori Vygotsky.
Dia mengatakan bahwa jalan fikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya, artinya memahami jalan fikiran seseorang adalah dari asal usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya.
Menurut Piaget pertumbuhan berfikir anak berada pada tingkat berfikir operasional kongkrit. Maksudnya anak memiliki kemampuan memikirkan sesuatu suatu hal bila hal tersebut dikongkritkan/ bersifat nyata. Semakin bertambah usia anak maka kemampuan berfikir anak semakin meningkat ketingkat berfikir abstrak (berfikir formal)
Menurut Vygotsky, pertumbuhan berfikir anak bersifat contexs dependent atau tidak dapat dipisah-pisah dari kontek sosial.
a) Cara belajar anak menurut Piaget lebih mementingkan interaksi antara siswa dengan kelompoknya dari pada dengan orang yang lebih dewasa.
b) Menurut Bruner, cara belajar anak akan berjalan denga baik jika guru memberi kesempatan pada siswa menemukan konsep teori, aturan, atau contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.
c) Menurut Vygotsky, anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sosial atau sumber-sumber sosial di luar dirinya.
Pertumbuhan berfikir anak usia SD berada pada tingkat berfikir kongkrit (Piaget), dan menurut Bruner tingkat berfikir anak memiliki dua komponen, yaitu pembentukan konsep dan tindakan pemahaman konsep.
Kedua ahli ini hampir sama pendapatnya, yaitu anak usia SD berada pada tingkat berfikir kongkrit. Implikasi pertumbuhan berfikir anak usia SD ini menuntut agar dalam pembelajaran dilakukan sebagai berikut:
1) Dalam membahas materi pelajaran dibawa kedalam suasana kongkrit dan kalau dapat dibawa ke dalam situasi nyata, sesuai dengan pendapat Bruner cara belajar anak dengan memberi kesempatan pada anak menemukan konsep dan pemahaman konsep dengan cara anaktif, ekonik dan simbolik.
2) Bila dalam pembelajaran tidak dapat dibawa ke dalam realita yang sebenarnya, maka guru harus berupaya mengganti dengan pengganti suasana yang nyata, berupa penggunaan media pembelajaran. Sedapat mungkin guru harus berupaya agar dalam proses pembelajaran anak dapat memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sosial atau sumber-sumber sosial di luar dirinya.
2. Disain Pembelajaran
Esensi disain pembelajaran hanyalah mencakup empat komponen, yaitu siswa, tujuan, metode, dan evaluasi serta analisis topik. Empat komponen tersebut dipengaruhi oleh teori belajar dan pembelajaran, sedangkan analisis topik merupakan disain pembelajaran yang dihasilkan dari disiplin ilmu tertentu. Untuk mengetahui apa sebenarnya disain pembelajaran dengan mengacu kepada pendapat Rothwell dan Khazanas, 1992 dalam Dewi Salma Prawiradilaga (2007:15) dalam bukunya Prinsip Desain Pembelajaran (Instructional Design Principles) yang mengemukakan bahwa disain pembelajaran merupakan kegiatan merumuskan disain pembelajaran terkait dengan peningkatan mutu kinerja seseorang dan pengaruhnya bagi organisasi. Bagi mereka peningkatan kinerja berarti penginkatan kinerja organisasi. Disain pembelajaran melakukan hal tersebut melalui suatu model kinerja manusia.
Disain pembelajaran membantu seorang guru dalam dalam proses pembelajaran yang memiliki tahap segera dan jangka panjang. Kita percaya kondisi bahwa dalam pembelajaran terdapat kondisi-kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal adalah kemampuan dan kesiapan diri peserta didik, sedangkan kondisi eksternal pengaturan lingkungan yang didisain. Kondisi eksternal inilah yang disebut dengan disain pembelajaran. Untuk itu disain pembelajaran harus lah sistematis, dan menerapkan konsep pendekatan sistem agar berhasil mengingkatkan mutu kinerja seorang guru. Disain pembelajaran yang sistematis dan efektif akan mendorong peserta didik dalam penguasaan materi pembelajaran. Sebagai contoh, tampilan buku atau modul yang menarik dapat menimbulkan minat belajar. Sedangkan pengolahan serta penyajian isi yang menarik dapat membangkitkan rasa ingin tahu yang tinggi.
- Kemampuan seorang guru dalam mengorganisir dan mendisain pembelajaran dengan sistematis, efektif dan menarik bagi peserta didik akan menimbulkan efek positif terhadap penguasaan materi pembelajaran, dan pada akhirnya akan mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan, baik dari segi peserta didik itu sendiri, maupun dari segi guru. Dengan kata lain kalau hal ini tercipta dengan baik, akan menjadikan seorang guru itu menjadi guru yang profesional.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Guru harus mempunyai perencanaan yang matang, strategi pembelajaran, pendekatan-pendekatan, metode pembelajaran, dan evaluasi yang akan mengakomodir kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik menuju ke arah pembelajaran yang bermakna serta guru harus siap untuk berubah dari metode yang konvensional kepada metode pembelajaran yang terkini dengan mengikuti perubahan zaman dan globalisasi.
Proses penilaian untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik dilakukan dengan penilaian proses dan asesmen. Hal ini memungkinkan peserta didik diidentifikasi secara menyeluruh mengenai penguasaan materi pelajaran, perbedaan penguasaan masing-masing peserta didik. Dan pada tingkat yang lebih lanjut peserta didik dapat menilai diri mereka sendiri. Guru harus menyiapkan dan memperhatikan penguasaan siswa berdasarkan hasil kerja yang dibuat oleh peserta didik, serta memberikan catatan-catatan kecil sebagai penanda tingkat penguasaan siswa.
Realita pembelajaran di SD yang umumnya bersifat abstrak ini harus dirobah. Guru harus diberi wawasan, keterampilan dan kesadaran untuk merobah proses pembelajaran yang bersifat abstrak menjadi situasi kongkrit. Upaya ini dapat menjadikan proses pembelajaran berjalan lebih baik dan kualitas pencapaian hasil dapat lebih optimal, profesional, dan sesuai dengan standar minimal pembelajaran dan percepatan sertifikasi guru.
Perkembangan peserta didik harus menjadi titik tolak seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan segala sesuatu aktivitas yang dilakukan oleh guru harus mengacu kepada kompetensi, potensi, kemampuan, serta tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan tingkatan usia dan kesanggupan dalam penerimaan materi pembelajaran.
Seorang guru kelas untuk menuju ke arah profesional harus menguasai semua mata pelajaran yang dibelajarkan di sekolah dasar sesuai dengan kurikulum yang berlaklu, dan harus bisa membuat perencanaan yang matang agar tujuan pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan yang dianjurkan kurikulum, serta harus memperhatikan siapa dan bagaimana tingkat perkembangan, tingkat kematangan, pola berpikir dan cara belajar anak, serta latar belakang masing-masing peserta didik. Setidaknya ada tiga aspek yang harus ditempuh oleh seorang guru dalam meningkatkan profesionalisasi melalui sertifikasi dalam jabatan seperti aspek personality guru (kemampuan, potensi akademik), dan aspek perkembangan anak yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran yang berfokus pada peserta didik, dan aspek disain pembelajaran, serta pengakuan seorang guru dalam memenuhi segala kompetensi-kompetensi yang harus dilaksasanakan agar terciptanya guru-guru yang memenuhi persyaratan dalam menuju guru yang profesional. Langkah-langkah ini diharapkan akan meningkatkan profesionalisasi dan peningkatan sertifikasi seorang guru, sehingga mutu dan kualitas pendidikan dapat terangkat pada masa yang akan datang.
Dari pengamatan penulis, pembelajaran di SD belum menerapkan teori Piaget, Bruner dan Vygotsky. Guru cenderung membahas materi pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang diselingi dengan tanya jawab dan jarang sekali menggunakan media pembelajaran. Ini berarti proses pembelajaran bersifat abstrak dan tidak sesuai dengan pertumbuhan berfikir anak yang bersifat kongkrit sehingga sangat sulit bagi anak untuk dapat mengerti, memahami dan pengaplikasikan materi pelajaran dalam kehidupan anak di luar sekolah. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan oleh seorang guru, agar mengetahui dan dapat menciptakan pembelajaran yang mengesankan, kreatif dan menyenangkan bagi peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, efisien, dan efektif.
Realita pembelajaran di SD yang umumnya bersifat abstrak ini harus dirobah. Guru harus diberi wawasan, keterampilan dan kesadaran untuk merobah proses pembelajaran yang bersifat abstrak menjadi situasi kongkrit. Upaya ini dapat menjadikan proses pembelajaran berjalan lebih baik dan kualitas pencapaian hasil dapat lebih optimal, profesional, dan sesuai dengan standar minimal pembelajaran dan percepatan sertifikasi guru.
Perkembangan peserta didik harus menjadi titik tolak seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan segala sesuatu aktivitas yang dilakukan oleh guru harus mengacu kepada kompetensi, potensi, kemampuan, serta tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan tingkatan usia dan kesanggupan dalam penerimaan materi pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi proses pembelajaran pendidikan seni musik yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 08 Pulau Air Kec. Lubuk Begalung Kota Padang, mengindikasikan bahwa pembelajaran yang dilakukan masih menganut pendekatan konvensional. Pendekatan yang disyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada kelas awal adalah pendekatan tematis, dengan indikasi bahwa proses pembelajaran dilaksanakan bertumpu pada tema yang menjadi fokus pembelajaran dan mengaitkan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain yang behubungan, dan tidak terlihat perbedaan yang mencolok antar masing-masing mata pelajaran.
Proses penilaian untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik dilakukan dengan penilaian proses dan asesmen. Hal ini memungkinkan peserta didik diidentifikasi secara menyeluruh mengenai penguasaan materi pelajaran, perbedaan penguasaan masing-masing peserta didik. Dan pada tingkat yang lebih lanjut peserta didik dapat menilai diri mereka sendiri. Guru harus menyiapkan dan memperhatikan penguasaan siswa berdasarkan hasil kerja yang dibuat oleh peserta didik, serta memberikan catatan-catatan kecil sebagai penanda tingkat penguasaan siswa.
SARAN
Salah satu tuntutan pendidikan di masa yang akan datang adalah terciptanya guru yang profesional, baik dalam proses pembelajaran, maupun dalam pemenuhan persyaratan minimal seorang guru yang devaluasi melalui fortopolio dan berbagai dokumentasi aktivitas guru itu sendiri atau yang dikenal dengan sertifikasi secara nasional. Peningkatan profesionalisasi melalui sertifikasi guru dalam jabatan, merupakan salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru dalam mendongkrak kemajuan peserta didik sebagai aset nasional, dan pada tatanan yang luas meningkatnya mutu pendidikan nasional.
Mengacu pada peningkatan profesional melalui sertifikasi guru dalam jabatan diharapkan agar:
- Guru harus memperhatikan individual peserta didik secara seksama, agar kompetensi, potensial, serta kemampuan peserta didik dapat terakomodir dalam proses pembelajaran yang akan bermuara pada penguasaan seluruh materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru .
- Guru benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru yang profesional, yang memperhatikan pembelajaran yang dilaksanakan apakah sudah sesuai atau mengangkat kompetensi, potensi, dan kemampuan peserta didik. Proses pembelajaran yang dilaksanakan apak sudah berpusat pada peserta didik, dan apakah sudah mendisain pembelajaran secara sistematis, efektif, serta menarik bagi peserta didik.
- Seorang guru harus mendisain pembelajaran secara sistematis, efektif dan menarik bagi peserta, agar terciptanya kondisi pembelajaran yang aktif dan produktif, dan kinerja seorang guru yang lebih profesional.
- Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.
Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.
Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi.
Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus “Khusnudhon” bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan.
Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap, alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi di almari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.
Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakukan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun.
Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan.
Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia , melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4) Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5) Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1) Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2) Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3) Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4) Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5) Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6) Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
Daftar pustaka
http://desyandri.wordpress.com/2008/11/04/14/
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/30/pentingnya-supervisi-pendidikan-sebagai-upaya-peningkatan-profesionalisme-guru/
http://chauliyahsuherli.blogspot.com/2008/06/profesionalisasi-dan-kesejahteraan-guru.html
http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/04/03/menjadi-guru-profesional/